Desa Wisata dengan Pemandangan Indah di Indonesia: Desa Bena Vs Desa Wae Rebo

Desa Bena
Kampung Bena atau Kampung adat Bena adalah sebuah perkampungan kecil yang didiami oleh suku khas Flores yakni suku Bajawa. Perkampungan Bena yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia Unesco ini memang cukup terkenal selain perkampungan adat lainya di Flores seperti Wae Rebo. Perkampungan Adat megalitikum ini terletak di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur atau tepatnya berada di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa. Keindahan di kampung Bena tentu adat dan sosial masyarakatnya. Bentuk rumah adatnya juga memiliki ciri khas sendiri dan semuanya bentuknya sama. Jika dihitung ada lebih dari 45 buah rumah adat yang ada di perkampungan Bena. Kampung Adat Bena yang terletak di puncak bukit tentunya menawarkan pemandangan indah hamparan hutan luas dan pegunungan yang ada disekitarnya seperti gunung Inerie. Mayoritas penduduk Bena adalah beragama katolik. Mata pencaharian utama warga Kampung Adat Bena adalah sebagai peladang. Sedangkan para wanita lebih banyak diam dirumah mengurus keluarga sambil menenun kain. Hasil tenunan inilah yang biasa dijadikan mata pencaharian tambahan dengan mnejual hasil karya kepada para wisatawan yang datang ke Kampung adat Bena. Kampung adat Bena merupakan salah satu perkampungan adat Tertua yang ada di Nusa Tengara Timur. Kampung adat Bena sudah ada sejak 1200 tahun lalu. Meski menjadi kampung adat tertua namun masyarakat kampung Bena secara turun temurun tetap memegang teguh nilai-nilai dan budaya yang sudah menjadi tradisi suku Bajawa. Tak heran bila di Kampung adat Bena masih banyak belum tersedia fasilitas umum karena hal itu bertentangan dengan identitas Kampung adat Bena, Namun hal itulah yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang datang. Suku Bajawa yang masih sangat tradisional dengan perkampungan adat yang sangat kaya akan budaya. Banyak wisatawan dari luar Negri khususnya German dan Belanda yang sering mengunjungi Kampung Adat Bena. Banyak diantara yang juga menginap dikampung ini selain ingin melihat keseharian masyarakat Bena juga ingin lebih dekat dengan kehidupan masyarakat Flores. Bagi wisatawan Indonesia sendiri yang datang ke Kampung Adat Bena sendiri biasanya hanya sekedar memotret danmembeli oleh-oleh khas Kampung Adat Bena. Ketika berada di Kampung Adat Bena, kita bisa melihat ada sebuah bangunan lainya yang biasa disebut bhaga dan ngadhu oleh masyarakat setempat. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Statistics for this Xoptio

Desa Wae Rebo
Wae Rebo adalah sebuah desa adat terpencil dan misterius di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terletak di ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut. Di kampung ini hanya terdapat 7 rumah utama atau yang disebut sebagai Mbaru Niang. Desa Wae Rebo menwarkan wisata Budaya dan alam yang sangat asri dan unik. letaknya yang cukup terpencil dan diatas ketinggian, menambah kesan keasriannya sehingga para wisatawan yang datang merasakan bag tinggal di negeri diatas awan. Di desa ini sama sekali tidak ada signal hp. Desa Wae Rebo dari sisi pariwisata sangat dikelola dengan baik, karena desa ini didampingi dan diberikan bimbingan tentang Pariwisata oleh Indonesia Ecotourism Network. Tujuannya memajukan desa-desa yang tadinya kurang diperhatikan menjadi sebuah desa wisata yang banyak orang ingin kunjungi. Pengunjung yang ingin ke Desa Wae Rebo di Flores harus mulai dari Ruteng. Jika dari Denpasar (Bali), bisa langsung menuju Ruteng lewat jalur udara. Apabila tidak ada penerbangan menuju Ruteng, anda dapat menggunakan bus atau travel dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang memakan waktu sekitar 6 jam. Setelah tiba di Ruteng, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Denge atau Dintor selama kurang lebih 2 jam yang merupakan desa terakhir yang dapat diakses dengan kendaraan. Untuk ke Denge dapat menggunakan ojek atau truk kayu, biasanya dapat ditemukan di Terminal Mena yang beroperasi dari jam 09.00 sampai 10.00. Jika ingin lebih hemat, gunakan truk kayu. Hanya saja angkutan ini tidak setiap hari beroperasi. Selanjutnya perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki menuju Desa Wae Rebo selama 4-5 jam. Apabila harus menggunakan ojek dari Ruteng untuk bisa sampai ke Desa Denge, maka biaya yang dikeluarkan lebih mahal, bisa mencapai Rp 150.000-200.000 sekali antar. Lebih hemat jika menggunakan truk kayu yang hanya dikenakan tarif Rp 30.000 per orang. Untuk fasilitas, di Desa Denge ada sebuah home stay yang bisa digunakan untuk menginap. Tidak jauh dari home stay ada pusat informasi dan perpustakaan. Saat tiba di Desa Wae Rebo, anda bisa menumpang di rumah adat milik masyarakat setempat jika ingin menginap. Di sini tidak ada home stay atau penginapan khusus karena hanya terdiri dari 7 rumah adat. Selain pemandangannya yang indah, kita akan disambut dengan keramahan penduduknya saat tiba di Desa Wae Rebo. Di sini dapat kita jumpai rumah adat yang hanya terdiri dari 7 buah di mana telah bertahan selama 19 generasi. Hal ini pula yang menjadi daya tarik para wisatawan khususnya dari mancanegara. Mereka umumnya penasaran ingin melihat langsung rumah adat yang disebut dengan Mbaru Niang ini. Terbuat dari kayu dengan atap dari ilalang yang dianyam. Bentuk Mbaru Niang mengerucut ke atas, sebuah arsitektural tradisional yang sangat unik. Tujuh Mbaru Niang ini berkumpul di lahan luas yang hijau dengan dihiasi bukit-bukit indah di sekitarnya, hawanya masih sangat sejuk karena dikelilingi hutan. Desa Wae Rebo merupakan sebuah tempat yang bersejarah sehingga menjadi situs warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012 yang lalu. Selain rumah adat yang menjadi daya tarik, kehidupan masyarakatnya juga sangat menarik untuk diketahui. Sebagian masyarakat bertani dan wanitanya membuat tenun. Ada pula kebun kopi, biasanya pengunjung akan dihidangkan kopi khas Flores yang nikmat. Perpaduan kearifan budaya lokal dengan 7 rumah adat yang terletak di puncak bukit nan hijau membuat tempat ini layaknya surga di atas awan. Namun sangat disayangkan, kenyataannya tempat seindah ini masih asing bagi masyarakat Indonesia padahal sangat terkenal di mancanegara.